Placemaking di Kolong Jalan Layang, Fenomena Penggunaan ^Lost Space^ untuk Taman Kota
Dheamyra Aysha Ihsanti, Sugiyantoro

Institut Teknologi Bandung


Abstract

Placemaking merupakan fenomena yang unik, di mana ruang tercipta sebagai hasil dari proses sosial dan ekonomi yang menjadi bagian dari interaksi masyarakat perkotaan. Penelitian ini menjadi unik karena placemaking terjadi di ruang kota yang terabaikan atau lost space, yaitu ruang yang merupakan residu dari proses pembangunan kota dan umumnya diabaikan dalam pemanfaatan lahan secara formal. Pada kasus ini, lost space di sini adalah ruang atau kolong di bawah Jalan Layang Pasupati, Kota Bandung. Ruang ini sebagai residu dari pembangunan infrastruktur jalan layang yang menghubungkan Kawasan Jalan Dago dengan Kawasan Jalan Pasteur dan Kawasan Pintu Tol Pasteur. Berkat jalan layang ini maka tercipta koneksi baru yang memudahkan pergerakan bagi para pelancong dari arah Jakarta dan masyarakat di peri-urban area sebelah barat Kota Bandung langsung ke jantung kota bagian utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi proses perkembangan terjadinya placemaking pada ruang terabaikan (lost space) sebagai residu dari adanya konstruksi jembatan layang di tengah Kota Bandung. Saat ini, ruang ini difungsikan secara formal sebagai ruang publik, dan diberi nama Taman Film Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan dua pendekatan utama, yaitu wawancara semi-terstruktur kepada beberapa narasumber melalui snowballing method, dan observasi lapangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan content analysis, yaitu dengan mengolah data hasil transkrip wawancara dan membandingkannya dengan hasil pengamatan lapangan. Penelitian ini menghasilkan temuan, pertama, placemaking yang terjadi di kolong jembatan layang merupakan fenomena pemanfaatan ruang terabaikan (lost space) menjadi sarana ruang publik, yang semula adalah lokasi kosong dan digunakan secara informal oleh masyarakat, umumnya kegiatan berkarakter negatif sehingga sulit untuk disebut sebagai placemaking, lalu menjadi ditetapkan sebagai bagian dari infrastruktur kota atau ruang publik formal melalui penetapan kebijakan pemerintah. Kedua, kebijakan penetapan lokasi kolong jembatan sebagai taman kota dan bagian dari ruang publik Kota Bandung merupakan proses formal placemaking. Proses formal placemaking ini kurang melibatkan peran masyarakat, baik dalam tahapan penetapan kebijakan, perencanaan, pembangunan, maupun pengelolaannya. Ketiga, terdapat momentum atau peristiwa penting yang mempengaruhi terjadinya placemaking dan karakterisitik ruang yang terbentuk di tempat ini. Hal ini menghasilkan periodisasi pentahapan perkembangan placemaking. Keempat, terdapat faktor penggerak dan penghambat terjadinya placemaking, dan ini berbeda untuk setiap periode perkembangan placemaking. Faktor penggerak positif adalah tindakan atau peristiwa yang memicu terjadinya placemaking, seperti berkembangnya kegiatan nonton bersama, diskusi komunitas film, latihan bela diri, dan lain-lain. Faktor penggerak negatif adalah tindakan atau peristiwa yang menghambat terjadinya placemaking, atau disebut juga sebagai faktor penghambat, seperti berkembangnya transaksi narkoba, sebagai tempat adu hewan, sebagai tempat tinggal para tunawisma dan lain-lain.

Keywords: Bandung, lost space, placemaking, ruang publik, taman kota

Topic: KOMUNITAS PERKOTAAN YANG CERDAS DAN INKLUSIF

ASPI 2023 Conference | Conference Management System